Reportika.co.id || Morowali, Sulteng – Kehadiran BTIIG/PT IHIP membawa perubahan yang signifikan dalam tatanan sosial dan ekonomi di Desa-desa terdampak. Perusahaan dianggap tidak menjalankan proses ganti kerugian yang layak dan adil. Petani-petani setempat terpaksa menjual lahan perkebunannya, dan beralih profesi. Penyerobotan lahan dan penguasaan asset desa juga menjadi polemik yang berkepanjangan. Tidak hanya mengurangi tutupan lahan pertanian, perusahaan juga melakukan reklamasi dan penebangan hutan bakau yang memaksa nelayan melaut lebih jauh.
Kehadiran perusahaan memang telah membuka peluang ekonomi baru, namun tidak begitu dirasakan mayoritas penduduk setempat. Kondisi yang cukup miris dirasakan adalah pemberdayaan lokal didalam Kawasan industri baik sebagai pekerja maupun sebagai pengusaha dimana kesempatan bekerja dan berusaha dikuasai oleh pengusaha dan pekerja luar. Sebagian penduduk setempat dan pendatang bekerja di PT IHIP, membuka indekos, atau menjalankan usaha pertokoan di sekitar kawasan industri. Namun, perubahan demografi tersebut melahirkan permasalahan lingkungan, seperti tumpukan sampah, jalanan berdebu, dan air tanah keruh. Degradasi lingkungan semacam ini meningkatkan jumlah kasus diare dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Berbagai persoalan dialami juga oleh pekerja kasar PT IHIP. Dibandingkan dengan total jam kerja dan biaya hidup, upah yang mereka terima tergolong rendah. Akomodasi yang disediakan perusahaan pun dianggap tidak layak huni (bangunan sanitasi buruk). Beberapa pekerja dipecat sepihak oleh perusahaan karena diduga mereka memiliki hubungan saudara atau kekerabatan dengan warga yang masih menolak pembebasan lahan atau terlibat dalam aksi perjuangan hak masyarakat Kawasan industri. Kondisi-kondisi tersebut menempatkan pekerja pada posisi yang lemah.
Seiring dengan pengembangan kawasan PT IHIP, kualitas air sungai dan laut mengalami perubahan. Bahkan sejumlah sungai tertimbun dan tidak lagi mengalir hingga ke laut yang mengakibatkan banjir. Dalam air Sungai Ambunu yang menyempit karena adanya aktivitas pembangunan waduk, di muara terdapat pembuangan air limbah PLTU. Dengan acuan baku mutu Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021. Tidak hanya menyebabkan kematian terumbu karang, konsentrasi kromium heksavalen di laut dapat terakumulasi dalam tubuh ikan yang kemudian dikonsumsi oleh manusia. Jika konsentrasinya terus meningkat, senyawa ini dapat mengubah morfologi tubuh, merusak sistem pencernaan atau bahkan menyebabkan kanker. Belum lagi aktivitas reklamasi mengancam kelangsungan hidup petani pembudidaya rumput laut.
Perubahan kualitas udara di sekitar kawasan PT IHIP juga perlu mendapatkan perhatian. Selain karena pertambahan jumlah penduduk, pengurangan tutupan vegetasi dan peningkatan frekuensi lalu lintas di desa-desa terdampak turut berkontribusi pada tingginya konsentrasi debu di udara. Ini jelas terlihat di jalan trans sulawesi yang melintasi Desa Ambunu, Tondo dan Desa Topogaro yang berada tepat di lingkar kawasan industri. Hampir semua pengendara motor selalu mengenakan masker dan kacamata untuk melindungi wajah dan mata mereka dari debu. Selain itu, hasil pengukuran juga menunjukkan bahwa kehadiran PLTU dan Smelter dalam kawasan PT IHIP juga menyebabkan kadar partikulat debu di sekitarnya tergolong tinggi, melebihi kriteria IRMA. Paparan debu terus-menerus dapat mengancam kesehatan warga setempat. Menurut Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Wosu, terjadi peningkatan drastis kasus ISPA semenjak adanya PT IHIP. Pada tahun 2021 ada 735 kasus, tahun 2022 tercatat 1.200 kasus, sementara pada tahun 2023 terdapat 1.148 kasus. Angka tersebut telah memperlihatkan kasus ISPA semakin meningkat.
9 POIN TUNTUTAN:
- BTIIG/PT IHIP segera bertanggungjawab atas pencemaran lingkungan yang disebabkan atas aktivitas produksi, polusi debu smelter dan PLTU mengakibatkan warga lingkar industri terpapar ISPA. Menjaminkan pengobatan Kesehatan bagi warga yang didiagnosa ISPA. Kompensasi debu bagi Desa terdampak langsung serta segera merelokasi pemukiman yang masuk area zona merah.
- Kompensasi pinjam pakai atas penggunaan jalan tani Desa Ambunu serta realisasi tukar guling kebun Desa.
- Transparansi dan pertanggungjawaban Dana CSR
- Pemberdayaan Tenaga Kerja lokal(pada posisi strategis) serta Pemberdayaan Pengusaha lokal (kontraktor, supplier, LPTKS, treader, Agen kapal, PBM, TKBM dll)
- Menghapus kebijakan/aturan Kawasan terkait kewajiban karyawan untuk tinggal di Mes, demi menghidupkan usaha kos-kosan.
- Penyelesaian pembayaran lahan masyarakat serta biaya pajak sesuai kesepakatan jual beli lahan.
- Realisasi janji BTIIG/PT IHIP atas penyediaan air bersih, listrik murah, penanganan sampah dan limbah.
- Penyelesaian pembayaran kerugian pembudidaya rumput laut atas pencemaran akibat reklamasi pantai.
- Restrukturisasi manajemen HRD dan Eksternal BTIIG/PT IHIP yang tidak berpihak pada pemberdayaan lokal.
Darman
Sumber : Pers Rilis Forum Ambulu Bersatu (Forbes)