KERONCONG KAMPUNG TUGU “Musik Dari Kaum Terasing”

Reportika.co.id || Jakarta – Kebanyakan orang mengetahui bahwa keroncong adalah musik asli yang berasal dari Indonesia. Tetapi jika kita telusuri lebih jauh musik keroncong memiliki hubungan historis dengan musik Portugis yang terkenal sebagai fado berasal dari istilah latin yang berarti “nasib”. Fado populer dilingkungan masyarakat perkotaan Portugal hingga sampai saat ini (Victor Ganap, 2006, hal:2). Sejarah keroncong di Indonesia dapat ditarik kebelakang hingga abad ke-16, yaitu pada waktu ekspedisi Portugis yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque yang datang ke Malaka dan Maluku.

 

Keroncong berawal dari musik yang dimainkan oleh para budak Portugis yang di merdekakan oleh Belanda yang disebut kaum mardijker. Dawai sebagai alat musik utama keroncong Tugu, pertama kali dibuat di Portugis terbuat dari kayu ahorn. Musik keroncong yang berasal dari kampung Tugu disebut keroncong Tugu. Dalam perkembangannya, masuk sejumlah unsur tradisional Nusantara, seperti pengunaan seruling serta beberapa komponen gamelan. Pada sekitar abad ke-19 bentuk musik campuran ini sudah popular di banyak tempat. Masa keemasan ini berlanjut hingga sekitar tahun 60-an, dan kemudian meredup akibat masuknya gelombang musik rock dan berjayanya musik Beatle dan sejenisnya hingga sekarang. Masa evolusi awal musik keroncong yang panjang (1661-1880), hampir dua abad lamanya, namun belum memperlihatkan identitas keroncong yang sebenarnya dengan suara crong-crong-crong, sehingga boleh dikatakan musik keroncong belum lahir tahun 1661-1880. Dan akhirnya musik keroncong mengalami masa evolusi pendek terakhir sejak tahun 1880 hingga kini, dengan tiga tahap perkembangan terakhir yang sudah berlangsung dan satu perkiraan perkembangan baru (keroncong millenium).

 

Tonggak awal adalah pada tahun 1879, disaat penemuan ukulele di Hawai yang segera menjadi alat musik utama dalam keroncong (suara ukulele: crong-crong-crong), sedangkan awal keroncong millenium sudah ada tanda-tandanya, namun belum berkembang (Ferdy, 2013, hal: 2). Empat tahap masa perkembangan tersebut adalah :

1. Masa keroncong tempo doeloe (1880-1920),

2. Masa keroncong abadi (1920-1960), dan

3. Masa keroncong modern (1960-2000), serta

4. Masa keroncong millenium (2000-kini)

 

Meskipun demikian musik keroncong tetap dimainkan dan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia hingga sekarang walaupun gaungnya tidak seperti masa kejayaannya. Agar lebih memahami awal mula keroncong Tugu, penulis akan sedikit bercerita sejarah bagaimana awalnya orang Portugis diasingkan dan kemudian dari pengasingan tersebut melahirkan seni musik keroncong, yang sekarang dikenal dengan sebutan keroncong Tugu.

 

Sebelum Belanda muncul di Nusantara (1596), pelayar Portugis telah membangun suatu jaringan Bandar niaga untuk menguasai rantai perdagangan rempah-rempah antara Malaka, kepulauan Maluku dan Eropa. Perusahaan dagang Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang kaya dan kuat itu menyerang pos serta rute pelayaran Portugis di seluruh Asia. Setelah berjaya sekitar 130 tahun di Malaka, Portugis takluk kepada pasukan Belanda dan menyerahkan Malaka kepada Belanda. Takluknya Malaka dan Maluku dari tangan Portugis membuat bangsa Portugis menjadi tawanan perang oleh bangsa Belanda.

 

Pada tahun 1641 kedatangan Portugis ke Batavia merupakan sebuah kekalahan Portugis yang hancur saat perang di Malaka dengan Belanda. Dan pada saat itu mereka telah menjadi tawanan Belanda selama bertahun-tahun Bangsa Portugis yang menjadi tawanan perang bangsa Belanda dibawa ke Batavia dengan syarat mendapatkan kebebasannya. Tetapi kebebasannya itu harus dibayar dengan beralih agama menjadi Protestan dan mengubah semua nama yang masih mengandung Portugis. Mereka menjadi bangsa yang merdeka di Batavia. Mardijker adalah sebutan bagi orang Portugis yang artinya merdeka atau orang yang dimerdekakan (Alwi, 2002, hal: 90). Setelah mendapatkan kemerdekaannya, kaum Mardijker menempati sebuah lahan di sebelah tenggara Batavia yang sekarang dikenal sebagai Kampung Tugu untuk tempat tinggal mereka. Ketika itu Tugu masih berupa kawasan hutan dan rawa-rawa yang merupakan sarang nyamuk malaria dan berbagai sumber penyakit lainnya. Belanda membuat perbedaan tempat tinggal bagi suku-suku yang bermukim di Batavia, tidak terkecuali orang Mardijker. Mereka mendapatkan “jatah” di rawa-rawa yang di buka untuk pemukiman. Tepatnya berada di dekat gerbang tenggara kota, di sebrang kali. Di pemukiman tersebut, mereka membangun gereja yang masih berdiri hingga saat ini bernama Gereja Portugis, atau biasa kita sebut Gereja Tugu. Saat kaum mardijker datang ke Kampung Tugu mereka membawa sebuah musik yang disebut Dawai sebagai alat musik utama, pertama kali dibuat di Portugis terbuat dari kayu ahor.

 

Pada abad ke 19 imigrasi ke Batavia mulai berkurang, begitupun pertambahan Orang Mardijker mulai berkurang. Bahkan mereka semakin menghilang dari Jakarta, mereka menjadi kelompok kecil di Kampung Tugu. Mereka semakin terisolasi setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945 mereka dipandang sentiment oleh masyarakat masa itu yang anti asing dan anti karena agamanya. Dewasa ini rupa kampung Tugu yang berada di kecamatan Semper Barat, Jakarta Utara kini tak jauh berbeda dengan pemukiman padat penduduk pada umumnya di ibu kota. Deretan rumah-rumah berdiri rapat dan di selingi jalanan berupa gang-gang kecil. Ada enam marga keturunan Portugis yang berada dikampung Tugu diantaranya: Abrahams, Andries, Braune, Cornelis, Michiels, Salomon, Seymon dan Quiko. Para keturunan Portugis ini masih melestarikan warisan dari leluhurnya walaupun keturunannya tak sebanyak Belanda di Indonesia yang melahirkan anak berdarah campuran, tetapi Orang mardijker menyisakan budaya untuk Indonesia khususnya kota Jakarta yaitu musik keroncong.

 

Pentingnya Nilai Sejarah Bagi Generasi Milenial

Sejarah adalah “ingatan” suatu hal yang penting. Untuk menghilangkan ingatan Bangsa itu sangat mudah. Jangan ajarkan sejarah kepada generasi muda. Coba bayangkan jika kita menjadi orang yang “hilang ingatan” kita akan menjadi orang yang linglung dan bingung tidak mengenal siapapun jangankan orang lain diri sendiri saja lupa. Bayangkan, jika kondisi tersebut terjadi pada Negara. Apa yang akan terjadi ? di era milenial saat ini, banyak generasi muda yang apatis terhadap sejarah khususnya sejarah bangsanya padahal kekuatan suatu bangsa itu terletak ditangan pemuda. Bukan ditangan Polisi atau TNI. Jika ingin merusak sebuah Negara secara perlahan itu mudah, jagan ajarkan sejarah pada generasi muda. Ketika generasi muda tidak memiliki ingatan meraka akan benar-benar tidak tahu siapa jati diri mereka hal tersebut mudah untuk dipengaruhi dengan hal-hal yang baru. Yang pada akhirnya para generasi muda tersebut membentuk identitas baru “generasi tampa ingatan” atau “generasi kacang lupa kulit” yang tidak mengenal asal usul bangsanya. Dan pada akhirnya terbentuklah budaya-budaya baru yang mereka adopsi dari arus globalisasi yang massif dan pada akhirnya bangsa Indonesia akan hilang hanya meninggalkan nama karena sudah terlupakan oleh generasi mudanya.

 

Sejarah dan generasi milenial itu diibaratkan pohon. Jika akar pohon itu kuat tertancap dalam ketanah pohon itu tidak akan mudah untuk ditebang, tumbang dan mati. Seperti itu juga generasi muda mereka tidak akan mudah terpengaruh oleh arus globalisasi jika sejarah perjuangan dan jasa para pendahulunya sudah tertanam didalam hati mereka. Maka dari itu mari ajarkan sejarah, kareana kaum muda adalah garda terdepan, penopang terkuat bagi bangsanya.

 

“JASMERAH” Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, itu pesan Indonesia yang disampaikan oleh Ir. Soekarno.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Dwiharti, Wieke. Dan Mulyani, Ade. 2011. Panduan Wisata Tanpa Mal. Jakarta: Gramedia.

Shahab, Alwi. 2002. Robinhood Dari Betawi. Jakarta: Repunblika.

Sumber Jurnal dan artikel

Ganap, Victor. 2006. Pengaruh Portugis dan Musik Keroncong. [Online].Tersedia: www.unes.ac.ad [25 Juni 2019].

Pratama, Yudha Fredy. 2013. Sejarah musikkeroncong.[Online].Tersedia: www.academia.edu [25 Juni 2019].

Johanes. 2019. Mengenal Gereja Tugu. [Online].Tersedia:https://travel.detik.com [27 Juni 2018].

Anonim.

 

https://wompasiana.com/diazab/bangsa-mardijker-jejaknya-hilang-di-utara-jakarta_57627866337b61b81704f05e diakses pada tanggal 27 Juni 2019 pukul 21.50 WIB

 

Penulis : Suhaibah Aslamiyah, S.Pd

Reporter : Samsudin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *