Reportika.co.id || Bogor – Sebanyak 230 perempuan dengan HIV mengalami kekerasan dari pasangan mereka (Suami atau Pacar) berdasarkan tahun yang di keluarkan komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan) Di tahun 2020.
Hal ini Jaringan Indonesia Positif (JIP) juga menemukan sebanyak 32% dari 247 perempuan dengan HIV di DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat pernah mengalami kekerasan dari pasangan. Dan kasus kekerasan yang dialami sebagian besar selesai dengan cara kekeluargaan atau mediasi.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa mereka sedang mengakses pengobatan Anti Retroviral (ARV) dan mereka juga kerap kali mengalami kasus kekerasan dalam bentuk fisik, psikis, seksual dan ekonomi.
JIP bersama dengan beberapa komunitas rentan (Komunitas Orang Dengan HIV dan Kelompok resiko tinggi serta rentan terinfeksi HIV) dan CSO melakukan pendokumentasian kasus melalui diskusi terkait kasus kekerasan terhadap perempuan dengan HIV di 13 kabupaten/kota di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat serta Banten. Pendokumentasian kasus kekerasan yang dialami perempuan dengan HIV menjadi hal penting.
“Iya ini menjadi sangat penting buat komunitas, jika kekerasan tersebut masih tetap terjadi dan tidak ada penanganan yang sesuai, maka kecemasan kami adalah. ini akan berdampak buruk terhadap penyintas dan tentu menghambat rencana pemerintah dalam mengakselerasi penanganan HIV di Indonesia,” kata Timotius Hadi selaku Deputi Program JIP, dalam Media Briefing di Hotel Royal Kota Bogor pada Rabu (24/08/2022).
Sejak 2 tahun terakhir JIP terus bersinergi dengan layanan kesehatan, dalam hal ini Rumah Sakit dan Puskesmas. JIP mendorong terbentuknya layanan kesehatan yang nyaman dan mudah diakses oleh komunitas orang yang hidup dengan HIV serta komunitas yang rentan terinfeksi HIV.
Sebagai bentuk komitmen JIP mendukung pemerintah untuk mencapai target ending AIDS pada tahun 2030.
“Bagaimana bisa kita mencapai target tersebut jika terjadi kekerasan dalam bentuk stigma dan diskriminasi yang dialami orang dengan HIV dan orang yang rentang terinfeksi HIV. Apalagi jika kekerasan tersebut menyebabkan keengganan mereka untuk melakukan tes maupun pengobatan,” tambah Hadi.
Sejalan dengan pernyataan Hadi, fakta lain yang didapatkan dari serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh JIP bahwa mereka yang mengalami kekerasan enggan datang ke layanan kesehatan. Serta masih banyak petugas kesehatan di Puskesmas yang perlu mendapatkan peningkatan kapasitas konseling dan pemahaman KTPA (Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak).
Menurutnya, beberapa korban kekerasan seksual langsung mendapatkan rujukan untuk melakukan tes HIV. Di sisi lain, selama pandemi Covid-19, terjadi penurunan koordinasi lintas sektor baik yang dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan maupun oleh P2TP2A sebagai unit pelaksana teknis dalam penanganan KTPA di tingkat Kabupaten/Kota. Belum ada alokasi anggaran yang jelas dari Pemerintah terkait penanganan KTPA.
Penanganan KTPA perlu keterlibatan berbagai sektor sehingga diperlukan koordinasi yang jelas dalam memastikan peran masing-masing sektor dalam penanganan KTPA khususnya di tingkat Kabupaten/Kota hingga kecamatan.
Sedangkan pada sisi kebijakan, pemerintah pusat telah membuat beberapa kebijakan untuk dapat memastikan kegiatan penanganan KTPA dapat berjalan lebih maksimal di tingkat daerah. Seperti Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Peraturan Menteri PP dan PA Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran dalam Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS yang Responsif Gender, Keputusan Menteri Kesehatan No. 1226/Menkes/SK/XII/2009 tentang Pedoman Penatalaksanaan Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Rumah Sakit.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang HIV-AIDS, dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 01 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan dan beberapa kebijakan terkait lainnya. Hanya saja kebijakan tersebut juga tidak cukup kuat.
”Masih diperlukan peran berbagai elemen masyarakat dan stakeholder lainnya dalam penanganan KTPA,” ujar Retty Ratnawati selaku anggota Komisioner Komnas Perempuan dalam pertemuan koordinasi pada pertengahan Maret lalu.
Saat ini, penanganan KTPA sangat bergantung pada pimpinan daerah, dalam hal ini di Kabupaten/Kota.
“Khususnya pada area penganggaran dan juga koordinasi,” imbuhnya.
Adapun rekomendasi yang diusulkan oleh JIP bersama komunitas rentan terkait penanganan KTPA, antara lain : meminta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk mendorong puskesmas membentuk Poli KTPA, mendorong peningkatan intensitas koordinasi di tingkat Kecamatan. Standarisasi penanganan KTPA di puskesmas, Update media informasi dan direktori kontak layanan penanganan KTPA.
“Semoga upaya kami bersama komunitas rentan lainnya dapat mendorong layanan KTPA yang ramah, khususnya buat orang yang hidup dengan HIV. Dan kami berkomitmen untuk tetap bekerjasama dan berkoordinasi dengan layanan kesehatan dan sektor terkait seperti Komnas Perempuan, P2TP2A dan institusi lainnya dalam penanganan KTPA pada sektor layanan kesehatan,” papar Hadi.
JIP bersama perwakilan komunitas rentan telah menyusun kertas kebijakan sebagai upaya dalam mendorong terbentuknya layanan yang ramah terkait penanganan KTPA pada sektor kesehatan.
(Sule)