Reportika.co.id || Polman, Sulbar – Tahun Pelajaran baru 2022/2023, dunia pendidikan tak pernah sepi dari pungutan yang bertentangan regulasi, dan ada juga oknum diduga memanfaatkan momen ini untuk mengeruk keuntungan dari orang tua/wali peserta didik baru.
Sementara Undang- Undang maupun regulasi tentang pelarangan bagi setiap satuan pendidikan dibawa naungan pemerintah ( Sekolah negeri) tidak diperbolehkan melakukan pungutan terhadap peserta didik baru.
Misalnya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendikbud Nomor 44 tahun 2012 tentang pungutan dan sumbangan biaya pendidikan, pasal 9 ayat(1) menyatakan, satuan pendidikan semua tingkatan ( SD- SMA/SMK) diselenggarakan pemerintah dan atau Pemerintah daerah DILARANG memungut biaya satuan pendidikan.
Sanksinya memuat ancaman yang dapat sanksi disiplin dan hukum pidana.
Dalam hukum pidana secara umum mengatur bagi pihak Kepala sekolah,buang bersangkutan dan Kadis Dikbud setempat yan mengetahui dan tetap melakukan pungutan terhadap orang tua / wali peserta didik, maka dapat dianggap menyalahgunakan Jabatan dan atas tindakannya tersebut, melanggar pasal 423 KUHPidana dengan ancaman 6(enam( tahun penjara begitu juga jika dikaitkan dengan UU Tindak pidana korupsi Sanksi ( Tipikor) yang melakukan pungutan dengan hukuman penjara paling singkat 4 tahun dan atau denda Rp 1 miliar (satu miliar).
Terkait dengan PPDB,soal pembiayaan sesuai pasal 21 ayat(2) Permendikbud Nomor 43 tahun 2019 tentang penyelenggaraan ujian yang dilaksanakan satuan pendidikan menyatakan, pelaksanaan PPDB terhadap sekolah yang menerima dana Bos tidak diperbolehkan memungut dan pasal 21 ayat (3) menyebutkan larangan untuk melakukan pungutan untuk membeli seragam atau buku tertentu berkaitan dengan PPD Diperkuat lagi, Permendikbud Nomor 75 tahun 2016 tentang, melarang komite sekolah memungut yang sifatnya mengikat.
Tetapi faktanya, sebagian besar sekolah masuk melabrak regulasi tersebut seperti terjadi di SMAN 1 Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat, kebijakan dilakukan pihak SMAN 1 Wonomulyo itu yang melabrak regulasi dan mengambilalih tugas Komite sekolah dengan tetap melakukan pungutan yang diduga melanggar regulasi sehingga mendapat sorotan dari sejumlah elemen masyarakat seperti LSM dan Pers.
Seperti LSM yang tergabung dalam Lingkar, bahkan sudah melaporkan hal itu ke DPRD Sulbar untuk digelar dengar pendapat
Kepala SMAN 1 Wonomulyo,Muhammad Hatta, yang hendak dikonfirmasi tentang adanya dugaan pungutan liar di regulasi dimaksud.
Selain itu, pihaknya melakukan pungutan terhadap peserta didik baru dan salah satu yang harus dibiayai dan sangat mendesak adalah honorarium para guru tidak tetap (GTT) dan pegawai tidak tetap ( PTT) yang tidak masuk dalam daftar dapodik berdasarkan juknis yang ada.
“Dibayangkan pak, kalau pihak orang tua peserta didik tidak berpartisipasi membayar iuran komite, tidak mungkin SMAN 1 Wonomulyo menerima 11 kelas dengan estimasi 36 orang setiap kelas dari 600 lebih pendaftar dan mungkin hanya bisa diterima sampai 5 kelas, dimana orang tua itu mau di sekolahkan anaknya dan di Bumiayu saja yang masuk wilayah Zona tidak semua anak-anak Bumiayu sekoleh di SMAN 2 Wonomulyo”, ungkap Mahmud Said.
Ada dua opsi kepada orang tua peserta didik baru, mau dibayar persemester atau sekalian satu tahu (12) bulan, dan kebanyakan lebih memilih satu tahun, apalagi biayanya tidak terlalu besar, yakni hanya sekitar Rp 480.000 ( empat ratus delapan puluh ribu rupiah) dan tidak ada absolut, tidak dipaksakan orang tua siswa tetapi harus mentaati Tatib sekolah maupun ketentuan diterapkan di sekolah, kata Mahmud Said.
Terkait dengan pengadaan baju seragam sekolah maupun logistik lainnya yang dinilai melanggar UU dan sejumlah regulasi hingga mendapat sorotan publik. Menurut Mahmud Said, sebenarnya persoalan pengadaan dan harga baju seragam pihak sekolah hanya memfasilitasi dengan mengundang 10 orang pengusaha penjahit dan bernegoisasi langsung dengan para orang tua/ wali perseroan didik baru kecuali logo dan lokasi termasuk topi dan dasi dsb itu dikoordinir langsung pihak sekolah yang menanganinya.
“Untuk keseragaman bagi peserta didik, pihak sekolah hanya menfasilitasi suruh orang tua peserta didik baru dengan mempertemukan antara 10 orang penjahit dengan orang tua peserta didik dan pihak minta para penjahit agar harganya tidak jauh bedah dipasaran umum dan penjahit lainnya dan harganya standar saja, yang penting tidak memberatkan dan harganya standar saja juga terjangkau dan tidak ada pungli disitu, yang dikatakan pungli itu kalau tidak ada barang tetapi sudah dibayarkan,” Ungkap Mahmud Said.
Dalam kesempatan itu juga, Mahmud Said juga menyampaikan bahwa batas sekolah antara sekolah dibawa naungan YPP dengan SMAN 1 tampaknya bakal menghadapi masalah besar karena pihak Yayasan PP juga mengklaim sebagian lokasi Besar akses jalan masuk sekolah adalah milik YPP Wonomulyo sehingga perlu ditangani serius dan cepat oleh pemerintah, baik Pemprov Sulbar maupun Kabupaten Polewali Mandar.
(ANDIRA)