Oleh : Andani Sepriadi & Febi Ramadhan Mahasiswa/i Magister Akuntansi Universitas Andalas
Reportika – Belakangan ini jagat maya dihebohkan dengan kata “Resesi”. Saking populernya kata tersebut, banyak orang merasa was-was untuk menyambut tahun 2023. Tahun yang digadang-gadangkan sebagai tahun yang gelap. Pada salah satu keterangannya, Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani mengatkan bahwa pada tahun 2023 Indonesia harus bersiap menghadapi gelombang resesi ekonomi, pernyataan tersebut sejalan dengan Mahendra siregar ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan resesi global hampir dipastikan akan terjadi (kompas.com 2022). Pernyataan Sri Mulyani tersebut juga diamini oleh Dana Moneter International (IMF) dan sejumlah lembaga internasioanl, yang memproyeksi resesi global terjadi pada 2023.
Pada dasarnya, Resesi ekonomi adalah kondisi saat perekonomian negara tengah memburuk. Dikutip dari situs Otoritas Jasa Keuangan (Sikapiuangmu), resesi terlihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) negatif, pengangguran meningkat, hingga pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut. Sebab, biasanya kondisi ekonomi yang rentan membuat pelaku usaha mau tak mau harus melakukan efisiensi demi kelangsungan usahanya.
Sejalan dengan isu resesi ini OJK merilis (Sikapiuangmu) tiga dampak resesi ekonomi yang salah satu diantaranya terjadi perlambatan ekonomi yang membuat sektor riil menahan kapasitas produksinya sehingga PHK akan sering terjadi bahkan beberapa perusahaan mungkin menutup dan tidak lagi beroperasi. Apapun keputusan perusahaan, pasti ada alasan yang mendorong keputusan-keputusan tersebut untuk diambil. Perlu dipahami bahwa tidak hanya perusahaan, tetapi karyawan juga mengalami situasi sulit saat terjadi resesi. ditengah situasi yang sulit antara pemberi kerja dan penerima kerja, dipandang perlu untuk menempatkan tindakan etis dalam setiap tindakan perusahaan termasuk didalamnya tindakan etis dalam PHK yang akan dilakukan perusahaan.
Kementerian Ketenagakerjaan telah memberikan saran kepada para pengusaha untuk menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai dampak dari resesi global. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah juga telah mewanti-wanti pelaku usaha agar tidak memanfaatkan isu resesi sebagai alasan untuk melakukan PHK sepihak tanpa adanya dialog tripartit antara perusahaan dan pekerja. beberapa hal yang bisa diterapkan pengusaha untuk menghindari PHK dengan menerapkan beberapa upaya yang tertuang dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor 907/MEN/PHI-PPHI/X/2004. Beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain mengurangi upah dan fasilitas kerja untuk tingkat atas misalnya tingkat manajer dan direktur. Selanjutnya, dengan mengurangi shift, membatasi atau menghapus kerja lembur, mengurangi jam kerja, mengurangi hari kerja, meliburkan atau merumahkan pekerja secara bergilir untuk sementara waktu. Lalu, tidak memperpanjang kontrak pekerja yang sudah habis dan memberikan uang pensiun kepada pekerja yang sudah memenuhi syarat.
Tahun 2022 ini, mengutip dari satudata.kemnaker.go.id tercatat dari Januari hingga November 2022, jumlah tenaga kerja ter-PHK di Indonesia sebanyak 12.935 orang, angka ini tidak terinformasi secara jelas apakah mengalami peningkatan atau penuruan dari tahun sebelumnya, terlepas dari itu, angka 12.935 merupakan angka yang besar dan menjadi cerminan dampak dari fenomena yang akan terjadi memungkinkan terjadi peningkatan jumlah, seperti banyak terdengar akhir-akhir ini karyawan beberapa e-commerce di tanah air, yang mengalami PHK besar-besaran pada akhir tahun 2022.
Menilik dari fenomena ini dari sudut pandang etika, seperti yang yang sama kita ketahui bahwa ketika terjadi PHK banyak terjadi pelanggaran konsep etika. Konsep teori etika merupakan suatu konsep ideal yang dapat diterapkan dalam suatu organisasi bisnis. Penerapan konsep tersebut dalam organisasi bisnis sering mengalami hambatan dan tantangan. Suatu organisasi bisnis yang sedang mengalami dilema etis dalam mengambil keputusan harus mengambil keputusan dengan bijak. Keputusan yang diambil sering mengalami benturan antara kepentingan stakeholder dengan konsep etika yang ada. Keputusan yang diambil, meski sulit, harus mampu mengakomodir semua kepentingan stakeholder sekaligus memperhitungkan etika yang ada.
Berikut beberapa teori etika yang menurut kami dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam penentuan keputusan PHK yang harus dilakukan perusahaan;
Egoisme
Egoisme adalah teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dilandasi oleh kepentingan berkutat diri dan mereka yakin tindakan dan keputusan mereka adalah luhur, namun pada kenyataannya mereka hanya memikirkan diri sendiri, memiliki gagasan bahwa kehidupan terbaik adalah kehidupan di mana saya berhasil mendapatkan apa yang saya inginkan.(Graham, 2004)
Hedonisme
Pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia. (Graham, 2004)
Utilitarianisme
Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, kemudian menjadi kata Inggris Utility yang berarti bermanfaat. Menurut teori ini suatu tindakan dapat dikatakan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat. (Graham, 2004)
Deontologi
Deontologis berasal dari kata Yunani “deontos”, yang berarti “apa yang harus dilakukan”. Kadang-kadang diterjemahkan sebagai “kewajiban” atau “kewajiban”. ”Deontologis terkemuka adalah yang ke-18 filsuf abad Immanuel Kant. (Duska, et.al 2011)
Teori Keutamaan (Virtue)
Teori ini berbeda dengan teori sebelumnya, teori keutamaan tidak lagi mempertanyakan suatu tindakan, tetapi mempertanyakan mengenai sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia sehingga mereka akan bertingkah laku baik atau mungkin saja bertingkah laku buruk tergantung sifat yang dimiliki.
Beberapa teori etika diatas dapat dipertimbangkan perusahaan sebelum melakukan tindakan PHK karena terdampak resesi ekonomi, seperti egoisme dimana tindakan PHK tanpa pemberitahuan sebelumnya dan hanya mempertimbangkan sisi perusahaan saja, padahal keputusan ini juga berdampak bagi kelangsungan kehidupan karyawan kedepannya, selanjutnya hedonisme dimana keputusan PHK diambil, sementara upaya efisiensi dari sisi top management belum dikaji, sehingga top management masih dengan fasilitas yang sama (tanpa efisiensi) tapi pekerja bawah dilakukan PHK.
Pertimbangan berikutnya Utilitarianisme, dimana keputusan perusahaan harus mengedepankan kebahagian banyak karyawannya dan tetap mengupayakan upaya efisiensi pada semua lini dari pada keputusan PHK yang membuat semua karyawan terdampak tidak bahagia, selanjutnya Deontologi dimana tindakan dianggap baik karena tindakan itu memang baik, pada kasus PHK, kewajiban perusahaan adalah bersikap adil, sehingga dampak harus dirasakan bersama-bersama, PHK pada beberapa orang tidak menunjukan hal yang adil apalagi tidak ada upaya efisiensi pada pimpinan sebelumnya, sikap etis terakhir adalah teori keutamaan (virtue) dimana keputusan PHK adalah pilihan terakhir yang bijaksana dan penuh dengan keadilan serta sikap baik kemanusiaannya lainnya, asumsi tindakan PHK adalah tindakan yang buruk dan tidak inggin dilakukan jika tidak terdapat situasi yang mendesak untuk dilakukan.
RA