Potret Dejavu Tahun Ajaran Baru, Dunia Pendidikan

Oleh : Andi Rasyid Moerdani, AM

Aktivis Pers dan Penggiat Anti Korupsi

 

Siswa Baru, Seragam Baru, Bisnis Baru dan Pungli Gaya Baru, merupakan tradisi bagi setiap satuan pendidikan di negeri ini.

 

Khusus di wilayah Provinsi Sulawesi Barat, setiap memasuki tahun pelajaran baru, dapat dipastikan memunculkan berbagai fenomena, asumsi dan persepsi berbeda-beda, pemahaman, nalar dalam menangkap peristiwa yang ada, dan menjadi pro kontra, bahkan menjadi bola-bola liar ditengah masyarakat sehingga menjadi konsumsi bagi penggiat anti rasuah untuk melakukan penelusuran, investigasi dan penelitian serta kajian untuk membedah secara dalam peristiwa yang penuh misterius didalamnya.

 

Melalui penerapan antara kebijakan, aturan dan tuntutan lingkungan yang sifatnya mendesak dan menyenangkan, bahkan penuh kenikmatan tetapi jika salah analis penerapannya, maka akan melahirkan sebuah kesengsaraan dan penyesalan.

 

Selain itu, kehadiran insan Pers dalam menghadirkan informasi serta menelusuri kebenaran terkait fenomena tersebut, menghimpung opini masyarakat sangat penting agar fenomena tersebut menjadi sebuah keniscayaan dan tidak menimbulkan fitnah karena semua pihak dapat memahami peristiwa sesungguhnya, karena pihak- pihak terkait dan berkompeten akan memberi sumbangsih buah pikiran untuk melahirkan suatu solusi yang menjadi kesepakatan dan kesepahaman.

 

Regulasi, kebijakan dan tuntutan tidak perlu dipungkiri lagi sehingga bola-bola liar yang awalnya menjadi batu sandungan dan saling mendikte bahkan mencurigai diantara pihak yang diduga menguntungkan dari praktik tersebut.

 

Posisi insan Pers/ Wartawan yang menjunjung tinggi asas praduga bersalah dan independensi serta memiliki analisis yang tajam melalui insting panca Indra ke enam tetap membangun spionase untuk mengamati, mengkaji dan memonitoring dan mengevaluasi dampak peristiwa yang berpotensi mengganggu stabilitas ” keamanan” bagi pihak yang belum memahami secara real dan utuh informasi yang disajikan seorang pewarta melalui karya Jurnalistiknya secara obyektif dan akurat tanpa berpihak satu kelompok atau golongan tetapi tetap berpihak pada kebenaran secara hakiki.

 

Seorang pewarta harus mampu melahirkan suatu rangkuman peristiwa dari opini yang berkembang ditengah masyarakat, yang memiliki pengetahuan dan pemahaman secara homogen dan heterogen.

 

Mengamati dan meneliti peristiwa dugaan pungli di setiap satuan pendidikan sebagai ujung tombak dan garda terdepan pelayanan pendidikan untuk membangun karakter anak bangsa sebagai generasi pelanjut dan pengisi kemerdekaan yang telah diperjuangan para suhada Kusuma bangsa, yang gugur demi cinta tanah airnya dengan jiwa patriotisme dan kesatria maupun semangat terus berkobar, sehingga dibutuhkan solusi yang inklusif.

 

Regulasi yang dilahirkan oleh pemerintah dibidang pendidikan tampaknya masih perlu dibedah dan kurangnya sosialisasi sehingga dalam memahami penjabaran regulasi tersebut, belum secara utuh tetapi masih “sepenggal-penggal” karena di antara regulasi terkadang alur sasarannya dan maknanya berbeda tetapi obyek yang sama sehingga pihak sekolah bersama komite sebagai presentase orang tua peserta didik dan kasek bersama guru sebagai pelaksana tehnis untuk membuat rencana program aksi terkadang bertentangan dengan regulasi dan peserta didik menjadi kelinci “percobaan” sasaran dugaan bisnis untuk mengeruk keuntungan secara misterius dan terstruktur secara sistematik.

 

Selain itu, sistem management dana Bos yang dikucurkan pemerintah jumlahnya cukup fantastis mencapai triliunan, tetapi pihak penyelenggaran di satuan pendidikan masih menganggap bahwa dana Bos itu tidak pernah cukup sesuai kebutuhan berdasarkan Rencana Anggaran Kegiatan Sekolah (RKAS) yang digagas setiap persemester sebagai syarat penggunaan sasaran dana Bantuan Operasi Sekolah (BOS).

 

Sesungguhnya Pemerintah sengaja mengucurkan anggaran triliunan rupiah dari APBN dan APBD yang bersumber dari rakyat melalui pembayaran pajaknya guna mengurangi beban orang tua peserta didik dan sekaligus menekan angka putus sekolah akibat keterbatasan pembiayaan bagi peserta didik yang penghidupannya masih dibawah garis kemiskinan tetapi realita lapangan, harapan dan keinginan para orang tua peserta didik agar generasinya dapat mengenyam pendidikan disekolah favorit milik pemerintah dengan tujuan agar beban biaya dapat berkurang tetapi faktanya tidak demikian, pembayaran demi pembayaran yang masih subur dan berkembang di tingkat satuan pendidikan milik pemerintah hingga sekarang belum ada solusi dan konsep kesepahaman untuk menghentikan kegiatan praktik pungutan dengan berbagai dalih dan metode bervariasi, membuat orang tua peserta didik yang penghidupannya masih pas-pasan, tampaknya tidak berdaya dan harus mengikuti alur kebijakan yang diterapkan ditingkat satuan pendidikan meski harus banting tulang mencari nafkah demi membiayai generasinya agar menjadi manusia berkarakter, berguna dan bermanfaat kepada orang banyak.

 

 

 

 

 

 

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *