Reportika.co.id || Jakarta – Pokja HIV/AIDS dan Disabilitas PGI dengan dukungan UNAIDS dan WCC (World Council of Churches) mengadakan pertemuan konsultasi untuk mengembalikan issue pencegahan dan penanganan HIV /AIDS Pada tanggal 19-21 Oktober 2022.
Pertemuan yang dihadiri perwakilan dan pemuka lintas agama (Islam, Kristen Katolik, Hindu Budha dan Konghucu) dan beberapa unsur perwakilan LSM (IAC, JIP, GWL Ina, JT_id, IPPI, YFOS, Inti Muda, Equals_id) di Retreat PGI Pondok Remaja Cipayung,Bogor.
Aan S. Rianto sebagai salah satu tim panel mengatakan, WCC, UNAIDS dan PGI melihat kebutuhan untuk membuka suatu jembatan komunikasi antara tokoh agama lintas kepercayaan dan LSM peduli HIV/AIDS dengan mengadakan kegiatan konsultasi untuk menentukan langkah strategi advokasi melalui penguatan kolaborasi antara pemuka agama dan LSM untuk merespon issue HIV di Indonesia.
Kami dan unsur lembaga kesehatan dan KPA (Komisi Penanggulangan Aids) serta LSM peduli HIV/AIDS dari beberapa daerah membicarakan kendala kendala dan strategi yang perlu dilakukan untuk pencegahan dan penanganan HIV/AIDS melalui lembaga keagamaan.
Kolaborasi ini perlu diadakan mengingat capaian Indonesia menuju target global 95:95:95 (95% orang dengan HIV mengetahui statusnya, 95% orang dengan HIV yang sudah mengetahui statusnya menjalani pengobatan ARV dan 95% orang dengan HIV yang menjalani pengobatan mencapai Viral Load tersupresi) masih sangat jauh dari harapan.
“Hingga saat ini jumlah orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) di Indonesia tercatat sebanyak 526.841 orang dengan capaian target 78:40:14,” ucap Aan.
Rendahnya angka capaian Viral Load tersupresi yang masih berkutat diangka 14% (22.281 orang) dan dalam pengobatan 40% (165.034) menunjukkan adanya kesenjangan antara pemahaman issue penanggulangan dan penanganan HIV/AIDS dimana masih cukup banyak ODHIV (Orang Dengan HIV) yang masih memiliki potensi menularkan ke orang lain.
“Seperti diketahui bahwa ODHIV dalam pengobatan ARV yang mencapai Viral Load (jumlah HIV dalam darah) tersupresi tidak lagi dapat menularkan HIV kepasangannya secara seksual dan memperkecil resiko penularan HIV dari ibu ke anak,” ungkapnya.
Dari diskusi yang dilakukan banyak ditemukan kendala dari berbagai pemuka agama mengenai kebutuhan pemahaman keberagaman sehingga dapat melayani umatnya lebih baik tanpa perlu membedakan orientasi seksual, ekspresi jender, latar belakang dan status HIV umatnya.
Ditemukan juga banyak yang masih selalu mengkaitkan issue moralitas dalam persepsi mereka, bahkan masih ada yang menggunakan terminologi “tidak normal” dan tidak bermoral sesuai nilai nilai yang dianut mayoritas saat merujuk pada beberapa komunitas tertentu.
“Dalam pertemuan ini lembaga keagamaan dan perwakilan LSM peduli HIV sepakat untuk melakukan kolaborasi untuk membantu program pencegahan dan penanganan HIV/AIDS dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia sehingga diharapkan terjadi percepatan angka capaian menuju target global 95:95:95 yang dimulai dengan upaya penghapusan stigma dan diskriminasi….karena pada dasarnya setiap orang memiliki status HIV yang sama : negatif, positif atau tidak tau,” pungkasnya.
(Sule)