Berita  

DEM Aceh : Hilirisasi LPG dan Sumur Idle, Kebijakan Menteri ESDM yang Membingungkan

Reportika.co.id || Aceh – Pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengenai fokus pada peningkatan lifting migas dari sumur idle dan hilirisasi LPG saat acara serah terima jabatan di Kementerian ESDM pada Selasa (20/8/2024) menunjukkan komitmen yang baik dalam memajukan sektor energi. Namun, Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Aceh mengkritik pernyataan tersebut karena dinilai membingungkan.

 

Pertama, Dalam konteks alih kelola sumur terminasi atau idle, tantangan utama melibatkan koordinasi yang kompleks antara berbagai pihak seperti perusahaan migas sebelumnya, pemerintah, dan operator baru. Kurangnya koordinasi sering mengakibatkan penundaan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan di lapangan. Ditambah dengan kondisi sumur yang tidak optimal seperti infrastruktur yang usang, peralatan yang terdegradasi, dan data teknis yang ketinggalan zaman operasional reaktivasi menjadi sangat sulit dan berisiko tinggi.

 

Menurut Faizar Rianda, Presiden Dewan Energi Mahasiswa Aceh, proses alih kelola saat ini dihadapkan pada tantangan birokrasi yang rumit. Prosedur perizinan yang lambat dan regulasi yang tumpang tindih memperlambat pelaksanaan operasi, yang dapat meningkatkan biaya operasional serta risiko kerusakan lebih lanjut pada sumur jika tidak segera ditangani. Selain itu, penilaian risiko lingkungan yang tidak memadai saat mengoperasikan kembali sumur idle dapat mengakibatkan kebocoran atau insiden lingkungan. Hal ini berpotensi berdampak negatif baik secara ekonomi maupun sosial, terutama di daerah-daerah yang sensitif.

 

“Kita perlu regulasi terperinci untuk alih kelola migas yang mencakup koordinasi antar lembaga, standar operasional reaktivasi sumur, serta protokol keselamatan dan lingkungan. Keterlibatan Pertamina dan Dirjen Migas sangat penting untuk memastikan proses ini berjalan lancar dan aman.” Ungkap Faizar

 

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan regulasi khusus yang terperinci dan terstruktur mengenai alih kelola migas. Regulasi tersebut harus mencakup mekanisme koordinasi antar lembaga, standar operasional untuk reaktivasi sumur, serta protokol keselamatan dan perlindungan lingkungan yang ketat. Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan seperti Pertamina dan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) sangat penting untuk memastikan proses alih kelola berjalan lancar, efisien, dan aman.

 

Penting bagi pemerintah dan operator baru untuk melakukan perencanaan yang matang dan berbasis data yang akurat dalam proses alih kelola sumur terminasi atau idle. Pendekatan yang lebih transparan dan terkoordinasi akan membantu mengatasi hambatan teknis dan birokrasi, serta meminimalkan risiko lingkungan, sehingga upaya peningkatan lifting migas dapat memberikan manfaat optimal bagi negara.

 

Kedua, hilirisasi LPG, meskipun penting untuk kemandirian energi, harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan infrastruktur yang mendukung, terutama dalam hal distribusi dan aksesibilitas kepada masyarakat.

 

LPG (Liquefied Petroleum Gas) tidak dapat dihilirisasi karena LPG adalah produk akhir dari proses pemurnian minyak bumi atau pemrosesan gas alam. Proses hilirisasi biasanya mengacu pada peningkatan nilai tambah dengan mengolah bahan mentah menjadi produk akhir. Namun, dalam kasus LPG, bahan mentah tersebut sudah diproses menjadi produk akhir yang siap digunakan sebagai bahan bakar.

 

Karena LPG sudah berada dalam bentuk yang siap pakai, tidak ada proses hilirisasi lebih lanjut yang dapat diterapkan. Sebaliknya, LPG bisa didistribusikan atau digunakan langsung dalam berbagai aplikasi, seperti untuk keperluan rumah tangga, industri, dan transportasi.

 

Menanggapi pernyataan Pak Bahlil mengenai hilirisasi LPG, Faizar Rianda Mengatakan langkah yang lebih strategis adalah memfokuskan hilirisasi pada gas bumi karena beberapa alasan mendasar yang berkaitan dengan potensi ekonomi, efisiensi energi, dan keberlanjutan jangka panjang. Pertama, gas bumi memiliki cadangan yang jauh lebih melimpah dibandingkan LPG, sehingga memberikan peluang yang lebih besar untuk menghasilkan produk turunan yang beragam dan bernilai tambah tinggi, seperti methanol, amonia, dan bahan bakar gas cair (GTL), yang dapat digunakan dalam berbagai sektor industri, mulai dari petrokimia hingga pertanian.

 

Kedua, dari segi efisiensi dan keberlanjutan, hilirisasi gas bumi lebih ekonomis dan menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah, mendukung upaya transisi menuju energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan. LPG, yang sudah merupakan produk hilirisasi minyak bumi, memiliki keterbatasan dalam nilai tambah yang dapat dihasilkan melalui hilirisasi lebih lanjut. Oleh karena itu, dengan memprioritaskan hilirisasi gas bumi, kita tidak hanya mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam nasional, tetapi juga memperkuat ketahanan energi dan memperluas dampak ekonomi bagi masyarakat serta investasi industri hilir.

 

Pernyataan Bapak Bahlil saat penyerahan jabatan tampaknya menimbulkan kebingungan mengenai pemahamannya tentang aspek hulu dan hilir dalam tata kelola migas. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) adalah institusi yang sangat kompleks, sehingga dibutuhkan pemimpin yang tidak hanya mampu menjalankan tugas dengan efektif, tetapi juga memiliki integritas tinggi serta pemahaman mendalam tentang sektor energi.

 

Pemahaman ini perlu mencakup perspektif domestik dan global, mengingat pentingnya integrasi antara dinamika energi nasional dengan tren dan tantangan internasional. Bahkan untuk kedaulatan energi, pemahaman yang komprehensif sangat penting guna menyusun kebijakan yang tepat dan mendukung keberlanjutan serta kestabilan energi nasional.

 

 

Rania

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *