Oleh : Agus Purwanto, S.Pd,.M.Kesos
(Pengamat Kebijakan Publik)
Reportika.co.id – Regenerasi dalam sebuah kepemimpinan sudah seharusnya, namun jika memiliki anak yang diharapkan kelak meneruskan tongkat estafet mesti diarahkan ke kompetensi yang sama. Setiap orang juga mempunyai hak untuk mencalonkan diri memilih/ dipilih. Pelarangan terhadap hal tersebut sama saja mengkebiri hak politik sehingga bertentangan dengan asas demokrasi. Namun Demokrasi yang sehat adalah Demokrasi yang sejalan dengan nilai-nilai keadilan dan tidak dipaksakan untuk melanggengkan sebuah kekuasaan yang kemudian membuat publik mengkritisi hal itu.
Cost politik itu besar sehingga kaum kapitalisme lah yang langgeng dalam memainkan catur kekuasaan. Jika ada dari pemilik modal, anak hingga keponakan, mencalonkan diri ya sah saja karena mereka memiliki modal secara ekonomi, intelektualitas, dan net working. Namun hal tersebut dapat memperkecil peluang orang-orang potensial non-dinasti duduk di kursi pemerintahan. Maka pintu demokrasi mesti dibuka selebar-lebarnya untuk mengisi ruang demokrasi yang bermartabat demi menjaga tatanan nilai yang sudah baik untuk dilanjutkan demi sebuah kemajuan.
Trend politik kekerabatan benihnya sudah lama berakar secara tradisional yakni sistem patrimonial. Sistem yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis. Keadaan itu merupakan bagian dari sejarah politik Indonesia yang pernah menganut sistem kerajaan.
Masyarakat sudah semestinya paham bahwa politik itu penting namun terkadang tidak mau aktif untuk memahami konteks politik. Ketika muncul baru melakukan protes. Ketika mempunyai potensi kita harus hadir, dorong potensi itu sehingga bisa dilihat dan mampu berkompetisi jangan hanya memberikan ruang kepada orang yang itu-itu saja.
Dalam konteks kepemudaan, Pemuda sebagai aset bangsa sudah seharusnya hadir dalam mengisi ruang politik baik ditingkatan lokal maupun nasional. Sumbangsih pemikiran yang dimiliki secara akademis tentunya akan memberikan berbagai macam kebijakan yang mengarahkan kepada kepentingan publik. Namun pemuda juga berhak menolak jika ada sesuatu hal yang dianggap diluar kebiasaan yang secara etika akan mengganggu serta menciderai proses berdemokrasi.
Selanjutnya, bangun budaya rasional dalam memilih. Dinasti politik sudah berakar sehingga tidak mungkin mencabut akar secara langsung namun dapat dicegah dengan mengintervensi yaitu ikut andil dan mewarnai dalam setiap ruang politik.
Mari kita sambut dan akhiri panggung politik ini dengan hati yang bahagia. Sudahi atas nama kepentingan rakyat yang justru dijadikan pembenaran dalam mengambil keputusan tanpa memikirkan dampak psikologi publik.
RA