Menghadapi Kekerasan Seksual : Mengubah Budaya dan Mempromosikan Kesetaraan Gender

Reportika.co.id || Jawa Tengah – Kekerasan seksual merupakan salah satu masalah yang paling serius di masyarakat kita saat ini, Kekerasan seksual tidak mengenal batasan usia, jenis kelamin, atau latar belakang sosial. Kekerasan ini sebagai pemicu terjadinya peningkatan problem hingga di setiap lapisan daerah bahkan tidak pernah habis untuk dituntaskan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat itu sendiri sehingga korban yang tadinya “sedikit” semakin hari semakin bertambah jumlahnya, dan yang paling rentan terjadi pada perempuan.

Memang benar adanya siapapun bisa menjadi korban, dari mulai anak sekolah hingga orang dewasa, Ini adalah masalah yang mempengaruhi individu dan komunitas secara luas, Seperti yang terjadi baru-baru ini Guru Agama yang Cabuli Siswa di Wonogiri Berstatus ASN,
Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Wonogiri, Anif Solikhin memastikan, Kepala Sekolah dan seorang Guru Agama di salah satu madrasah di Wonogiri yang diduga melakukan pencabulan terhadap puluhan muridnya telah dinonaktifkan. Anif mengaku mengetahui informasi tersebut dari Dinas PPKB P3A Bidang Pengendalian Kependudukan, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak.

“Anif mengatakan, guru agama yang ditunjuk ASN di sekolah tersebut telah dipecat dan tidak lagi mengajar di sana, dan kepala sekolah yayasan juga telah diganti,”terangnya.

“Masih menurut Anif dikutip dari Tribun Solo.com pada Senin (29/5/2023), “saat itu (dugaan pelecehan seksual) sudah dilaporkan ke kepala desa, camat, dan dinas, dan mereka juga telah ditindaklanjuti.”jelasnya.

“Anif juga sempat mengatakan bahwa kelompoknya telah menjalin kerja sama dengan pihak lain, dan Ia menambahkan, tim sudah turun ke lokasi untuk berbicara dengan warga, kepala desa, dan pimpinan badan pengelola sekolah tersebut di tingkat kecamatan, 12 anak kan dugaannya? Pasti waktunya tidak sebentar,.
Dikatakannya, “Dari sisi kelembagaan, Kementerian Agama juga berkoordinasi dengan kelompok agama yang menjadi penanggung jawab sekolah tersebut.”ujarnya.

“Kami bekerja sama dengan organisasi untuk memastikan pengajaran madrasah berjalan seperti biasa, Jangan sampai kecurigaan ini mengganggu proses belajar mengajar,”kata Anif.

Guru agama yang tersangkut kasus tersebut berstatus ASN di bawah Kementerian Agama dan akan ditarik terhitung mulai hari ini, Senin, (29 Mei 2023),” menurut Anif.

“Kalau kepseknya nanti kewenangan dari organisasi atau yayasan, kita minta ditindaklanjuti agar dicari penggantinya agar pendidikan tetap jalan, Tidak kondusif jika yang bersangkutan tetap memimpin di sana, “ujarnya.

11.975 kasus kekerasan seksual dilaporkan antara tahun 2015 dan 2020, menurut data dari Komisi Nasional Perempuan (Komnas) (Kompas 9/12). 4.500 kejadian dilaporkan ke Komnas Perempuan antara Januari dan Oktober 2021, meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya, Insiden seperti itu sering terjadi, dengan lebih sedikit kasus yang terungkap daripada yang dilaporkan. Meskipun kita memiliki Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang mengatur tentang tindak pidana terhadap pelaku kekerasan seksual, namun tidak memberikan efek jera bagi pelakunya, Salah satu penyebab terjadinya pelecehan seksual di sekolah adalah praktik pengumpanan atau ancaman korban hingga pemerkosaan. Menanamkan pada korban gagasan bahwa ia harus mematuhi guru.
Guru seharusnya menjadi orang tua di sekolah, bukan justru menjadi pelaku kejahatan seksual, Dengan adanya tindakan tersebut, bukan mustahil psikis anak akan terganggu dan mereka akan menghadapi trauma seumur hidup.

Tanggung jawab guru bukan hanya mengajar mata pelajaran kepada siswanya, melainkan juga mencontohkan sikap yang baik. Lantas, bagaimana jika guru justru melakukan tindakan tidak bermoral seperti kejahatan seksual? Hal ini tidak menutup kemungkinan dapat menjadi awal bagi para siswa untuk melakukan hal yang sama, Perlu adanya tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan seksual tanpa memandang pelaku dan siapa korbannya. Melawan kekerasan seksual di semua ranah kehidupan harus dilakukan semua pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi juga keluarga dan masyarakat. Bahkan, semua, terutama para pemimpin dan pengelola lembaga pendidikan, agama, dan sosial, harus berperan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak-anak. Bukan, malah menjadi pelakunya.

“Menurut I Gusti Ayu Bintang Darmawanti, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), pelanggaran kekerasan seksual menyumbang 55% dari semua peristiwa kejadian kekerasan. Karena membahayakan kelangsungan hidup negara di masa depan, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak harus ditangani secara serius. Namun, dedikasi Pemerintah dan Menteri terkait untuk perlindungan anak masih jauh dari ideal, meskipun telah dibuat beberapa undang-undang. Para korban kekerasan seksual mengalami konsekuensi yang mengerikan: Efek psikologis perbuatan terdakwa mengakibatkan anak korban mengalami gangguan psikis serta geram, benci, dan takut kepada terdakwa.

Dampak fisik berada di urutan kedua. Faktor penting dalam penyebaran penyakit menular seksual adalah pelecehan seksual terhadap anak-anak. Selain infeksi atau perdarahan vagina, ada sejumlah variabel lain yang perlu diperhatikan. Faktor efek sosial adalah yang ketiga. Korban kekerasan seksual mungkin mengalami penerimaan teman sebaya yang negatif, seperti dijauhi.
Banyak dari kita terlalu tersorot pada apa yang dilakukan, sehingga tidak kritis dalam mengatasi hal – hal seperti kekerasan seksual, fisik dan psikis itu merendah, untuk itu mari merangsang akal agar tetap sehat, tekun dan berpendirian hingga tidak gampang terbujuk rayu oleh pikiran yang menewaskan kita dalam jeruji kesengsaraan.

Untuk mengatasi kekerasan seksual, diperlukan perubahan budaya yang mendorong kesetaraan gender dan menghentikan segala bentuk penindasan dan pelecehan seksual. Marilah kita bersatu untuk membuat perubahan dan memupuk rasa hormat dan kesetaraan untuk mengakhiri gelombang pelecehan seksual. Dalam artikel opini ini, kita akan menjelajahi pentingnya sikap anti kekerasan seksual dan langkah-langkah yang harus kita ambil sebagai masyarakat untuk mengatasi masalah ini:

Menciptakan Lingkungan Yang Aman
Lembaga pendidikan harus menciptakan lingkungan pendidikan yang aman. Lingkungan yang bisa melindungi setiap warganya dari setiap tindakan kekerasan, termasuk kekerasan seksual ini. Apabila terjadi pelecehan seksual di sekolah pastikan sekolah tidak menutupi kasus tersebut tetapi melindungi korbannya, memastikan keamanan korban, dan mengawal kasus tersebut untuk diselesaikan secara hukum. Jika sekolah sudah bisa menciptakan lingkungan yang aman, maka kasus kekerasan seksual bisa dicegah. Tidak akan ada siswa yang menjadi korban kekerasan seksual.

Pendidikan Seksualitas (sex education)
Mengaca dari dikeluarkannya Permendikbudristek No. 30 di atas, terjadinya kekerasan seksual di perguruan tinggi disebabkan oleh banyak kasus yang tidak berani mengungkapkan karena takut oleh relasi kuasa yang ada. Maka demi mendukung terselenggaranya pencegahan tindakan setelah dikeluarkannya peraturan yang berpihak kepada korban, sudah selayaknya kita memberikan pengetahuan tentang pendidikan seksualitas. Sebab, tak jarang masih banyak yang belum mengetahui dan mengerti terkait apa itu tindakan kekerasan seksual. Terutama kepada siswa-siswi yang masih duduk di bangku sekolah.

Secara umum, pendidikan seksualitas itu bukan soal bagaimana melakukan persetubuhan (seks), melainkan mengajarkan para murid atau mahasiswa mengetahui batasan-batasan ketubuhan yang harus dilindungi terutama tentang kesehatan reproduksi. Kemudian, bagaimana menjadi perempuan dan menjadi laki-laki, yang terpenting bekaitan dengan martabat kemanusiaan. Oleh sebab itu, sudah seharusnya pengetahuan tersebut bisa masuk dalam proses pembelajaran di sekolah atau perguruan tinggi.

Menumbuhkan Kesadaran
Penting bagi kita untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan seksual dan dampaknya yang merusak. Pendidikan seksual yang inklusif dan komprehensif harus menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan kita. Ini akan membantu menghilangkan stigma yang terkait dengan kekerasan seksual dan mengajarkan anak-anak sejak dini tentang hak-hak mereka, penghormatan, dan persetujuan dalam hubungan mereka.

Penguatan Korban
Selanjutnya, penting untuk memperkuat perlindungan korban kekerasan seksual. Kita perlu memastikan bahwa sistem peradilan memberikan perlindungan yang adil bagi korban dan menghukum pelaku dengan tegas. Korban juga harus diberikan akses ke layanan kesehatan fisik dan mental yang tepat, termasuk dukungan psikologis dan konseling yang diperlukan untuk pemulihan mereka.

Peran Pria Dalam Perubahan Budaya
Perubahan budaya juga memerlukan keterlibatan aktif pria. Mereka harus menjadi sekutu dalam perjuangan melawan kekerasan seksual dan bekerja sama dengan perempuan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif. Pria harus membantu memerangi pemahaman patriarki yang menghasilkan ketidaksetaraan gender dan mempromosikan sikap yang menghargai persetujuan, penghormatan, dan kesetaraan.

Mengatasi Media dan Budaya yang Merendahkan Perempuan
Media dan budaya populer seringkali menjadi pemicu kekerasan seksual. Gambaran yang objektif dan seksualisasi berlebihan dari perempuan dalam media mempengaruhi persepsi kita tentang perempuan sebagai objek seksual. Kita perlu berupaya mengubah narasi ini dan mendukung representasi yang positif dan membangun perempuan sebagai individu yang berdaya.

Pemantauan dan Implementasi Hukum yang Ketat
Terakhir, diperlukan pemantauan yang ketat terhadap kekerasan seksual dan implementasi hukum yang tegas terhadap pelaku. Hukum yang melindungi korban dan memberikan hukuman yang setimpal akan menjadi deteren yang kuat bagi para pelaku. Selain itu, perlindungan hukum harus meliputi langkah-langkah pencegahan seperti kebijakan anti-pelecehan di tempat kerja dan pemberian sanksi kepada lembaga atau individu yang melanggarnya. Lembaga pendidikan pastinya juga harus memberikan sanksi yang berat terhadap pelaku kekerasan seksual. Bila guru atau tenaga pendidik yang melakukan kekerasan seksual, maka tidak ada ampun. Lembaga pendidikan harus memberikan sanksi yang berat. Mulai dari melaporkan ke pihak yang berwajib hingga memecat secara tidak hormat. Bila itu semua sudah terjadi, diharapkan tidak terjadi lagi terjadinya kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dikarenakan sanksi yang sangat berat terhadap pelaku.

Kesimpulan dalam pemahaman masyarakat di negeri ini, perempuan sering kali ditempatkan di posisi kedua. Bahwa perempuan adalah sosok yang selalu harus tunduk dan patuh dalam segala hal. Bahkan dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu, beberapa nilai atau adat kebiasaan yang seakan tidak bisa lagi ditawar, ‘ini yang tepat bagi perempuan dan itu yang tepat bagi laki-laki’. Akibat dari budaya patriarki yang mayoritas dianut dalam masyarakat, adanya pembatasan ‘gerak’ yang wajar dan tak wajar dilakukan oleh perempuan.

“Pola pikir tersebut sangat memengaruhi pandangan masyarakat akan kedudukan yang layak bagi perempuan, dan tak jarang perempuan menjadi kaum yang teraniaya dalam masyarakat.
Dalam hal ini, kekerasan seksual adalah masalah yang mempengaruhi masyarakat kita secara luas. Untuk mengatasi masalah ini, kita harus berkomitmen untuk mengubah budaya dan mendorong kesetaraan gender. Dengan meningkatkan kesadaran, memperkuat perlindungan korban, melibatkan pria, mengatasi media dan budaya yang merendahkan perempuan, serta menerapkan hukum yang ketat, kita dapat bergerak menuju masyarakat yang bebas dari kekerasan seksual. Semua individu harus berpartisipasi aktif dalam membangun lingkungan yang aman, menghormati, dan setara untuk semua.


Penulis : Puji Wahyuningrum dan Amalia Kumala Sari,
Fakultas psikologi universitas Muhamadiyah malang. (Bemo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *