Reportika.co.id || Kediri, Jatim – Proses redistribusi tanah di Perkebunan Mangli, Desa Puncu, Kabupaten Kediri, yang seharusnya menjadi angin segar bagi masyarakat Puncu, justru menyisakan polemik. Setelah melalui proses panjang sejak 2021, 200 warga menerima sertifikat tanah pada awal 2024, masing-masing seluas 0,25 hektare. Namun, pembagian tanah ini memicu kontroversi di tengah masyarakat lantaran terindikasi sarat dengan konflik kepentingan dan dugaan pelanggaran administratif.
Program redistribusi tanah ini merupakan bagian dari program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan Perpres No. 86 Tahun 2018 dan Perpres No. 62 Tahun 2023, pihak perkebunan berkewajiban menyediakan 20% dari luas area 300,2 hektare untuk kepentingan redistribusi tanah bagi warga setempat.
Kendati sertifikat sudah dibagikan, kekecewaan warga masih mencuat terkait mekanisme pembagian dan keterlibatan sejumlah pihak dalam proses tersebut.
Sejumlah warga mengeluhkan bahwa penerima redistribusi sebagian besar merupakan kerabat kepala desa dan perangkat desa yang sudah memiliki lahan pertanian. Beberapa sertifikat bahkan tercatat atas nama istri perangkat desa, padahal mereka juga memiliki tanah garapan dan tanah bengkok lebih dari satu hektare.
Selain itu, banyak warga Desa Puncu yang berada di sekitar Perkebunan Mangli malah tidak mendapatkan tanah, sementara warga dari desa lain masuk sebagai penerima redistribusi.
“Orang-orang yang seharusnya berhak mendapatkan tanah justru tidak kebagian. Banyak yang terpaksa menyerahkan sejumlah uang ke panitia pengurus sebagai biaya administrasi, padahal tidak dijelaskan penggunaannya,” ujar salah seorang warga Puncu yang enggan disebutkan namanya.
Beberapa penerima lahan redistribusi mengaku telah diminta biaya mulai dari Rp2 juta hingga Rp7 juta sebagai “biaya proses.” Bahkan, menurut laporan warga, beberapa penerima justru melakukan jual beli sertifikat dengan nilai yang mencapai Rp80 juta hingga Rp100 juta per bidang tanah, sebuah pelanggaran atas ketentuan yang ada.
Hingga saat ini, sejumlah pihak seperti Kepala Desa Puncu, Camat Puncu, maupun perwakilan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kediri belum memberikan tanggapan terkait tuduhan ini.
Masyarakat mendesak pemerintah daerah dan pihak berwenang untuk segera melakukan investigasi terkait dugaan penyelewengan jabatan yang berpotensi menguntungkan sekelompok tertentu di luar sasaran program TORA.
Pengamat hukum agraria, Karyoto, menjelaskan bahwa tindakan pemalsuan dokumen dan pengalihan nama kepemilikan sertifikat tanpa pemanfaatan yang jelas melanggar undang-undang.
“Jika terbukti, ini merupakan bentuk penyalahgunaan jabatan yang melanggar UU No. 31 Tahun 1999 serta UU No. 20 Tahun 2001 terkait tindak pidana korupsi. Pemerintah dan BPN harus mengevaluasi validitas data penerima dan mengambil tindakan tegas sesuai peraturan,” ujar Karyoto.
Redistribusi tanah merupakan hak masyarakat yang membutuhkan, terutama mereka yang belum memiliki tanah. Pihak pemerintah diminta untuk memperketat pengawasan dan memastikan bahwa bantuan lahan ini tidak dimanfaatkan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Sengketa redistribusi tanah di Perkebunan Mangli menjadi sorotan publik, mengingat tujuan utamanya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat justru diwarnai konflik.
Dengan adanya tuntutan ini, masyarakat Desa Puncu berharap adanya langkah konkret dari pemerintah untuk menuntaskan masalah redistribusi tanah secara adil dan transparan.
Hendrik